Karena dia penyihir, pada usia tiga belas tahun Kiki harus pindah ke kota lain. Dia harus meninggalkan Ibu, Ayah, serta kota kelahirannya. Kiki hanya akan ditemani Jiji si kucing hitam.
Ibu sudah melarangnya tinggal di kota besar, tapi Kiki kepalang suka pada kota Koriko, karena menara jamnya sangat tinggi dan letaknya dekat laut. Tapi astaga... warga kota Koriko tidak menyambut Kiki dengan hangat. Apakah Kiki bakal bisa bertahan di kota ini, padahal dia cuma bisa satu sihir: terbang dengan sapu?
Di suatu masa, para penyihir tidak lagi menguasai banyak ilmu sihir. Termasuk Kiriko-san, ibu Kiki. Dia hanya memiliki dua sihir. Kiriko-san sangat berharap kiki akan mengikuti jejanknya, karena tak ingin ilmu sihir hanya akan dimilikinya seorang. Ia ingin mewariskannya.
Walau
sangat berharap, namun semua keputusan brada di tangan Kik. Untunglah,
ketika berumur 10 tahun akhirnya Kiki memutuskan untuk menjadi seorang
penyihir. Mendengar keputusan anaknya, Kiriko-san, ibu kiki, segera
mengajari dua sihir yang dimilikinya. Sayangnya hanya ilmu terbang
dengan sapu yang dapat dipelajari Kiki dengan baik. Walau selama
belajar, Kiki tak jarang menabrak tiang.
Kekhawatiran
Kiriko-san tidak berhenti. Terlebih saat Kiki menginjak usia 13 yang
berarti ia harus meninggalkan rumah dan hidup di kota lain dengan
kemampuan sihir yang dimilikinya. Itu pula berarti Kiki harus hidup
terpisah dari ibu dan ayahnya. Tanpa pernah bosan Kiriko-san berpesan
kepada Kiki hati-hati memilih kota. Bahkan melarangnya untuk memilih
kota besar. Di temani oleh Jiji, kucing hitam miliknya, pada malam bulan
purnama, Kiki meninggalkan rumah dan siap dengan petualangan baru.
Walau
telah diperingatkan, Kiki tetap saja memilih untuk tinggal di kota
besar. Kiki sangat suka melihat Menara jam yang sangat tinggi terlebih
lagi kota itu dekat dengan laut. Seperti yang dikhawatirkan ibunya,
warga kota itu tidak seramah yang diharapkan Kiki. Sebagian dari mereka
tidak peduli bahkan ada yang cemooh. Semua orang yang melihat Kiki
memberikan komentar-komentar yang membuat Kiki merasa lemas. Untunglah
ada Jiji yang tetap memberinya semangat.
Kiki
berjalan tanpa tahu harus ke mana sampai kakinya membawanya ke sebuah
toko roti. Wanita pemilik toko itu ternyata membutuhkan bantuan
seseorang untuk mengantarkan dot milik seorang bayi yang tertinggal di
tokonya. Ia sendiri tak sanggup melakukannya karena sedang hamil besar.
Mendengar keluhan Osono-san, pemilik toko, akhirnya Kiki menawarkan diri
untuk membantunya. Sejak saat itu, Kiki pun memutuskan untuk memulai
pekerjaannya di kota besar yang penduduknya tak ramah. Walau jauh di
dalam hatinya masih ada keraguan mendalam.
***
Akhirnya
selesai juga buku yang satu ini. Padahal saya beli tahun lalu.
fuh…susah memang kalau sudah kena virus mogok baca. Hehehe..
Lagi
lagi cerita tentang penyihir. Awalnya saya sangat tertarik dengan
petualangn kiki, namun sampai dihalaman berikutnya, tantangan yang
dihadapi Kiki menjadi monton. Kalau dibandingkan dengan Toto-chan,
petualangan Kiki belum ada apa-apanya. Walau saya tetap ingin bisa
terbang seperti Kiki. Mungkin akan lebih menarik kalau Kiki menghadapi
masalah yang jauh leih rumit.
Terlepas
dari ceritanya, seperti Tombo-san, Saya juga ingin bisa terbang dengan
sapu milik Kiki. Pasti menyenangkan bisa melihat pemandangan kota dari
atas.dan tentu saja bisa pergi ke mana saja tanpa perlu berhadapan
dengan macet.
Kiki’s Delivery Service
(Titipan Kilat Penyihir)
Eiko Kadono
Ilustrasi : Akiko Hayashi
Penerjemah: Dina Faoziah & Junko Miyamoto
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan 1, Juni 2006
(Titipan Kilat Penyihir)
Eiko Kadono
Ilustrasi : Akiko Hayashi
Penerjemah: Dina Faoziah & Junko Miyamoto
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan 1, Juni 2006
No comments:
Post a Comment