Saturday, 15 December 2012

Review: Sisters Red - Jackson Pearce

SERIGALA ITU MEMBUKA RAHANGNYA YANG PANJANG. DERETAN GIGI TAJAM MENDEKAT KE ARAHNYA. SEBUAH PIKIRAN BERKECAMUK DI DALAM BENAK SCARLETT: CUMA TINGGAL AKU SENDIRI YANG TERSISA UNTUK BERTEMPUR. JADI, SEKARANG AKU HARUS MEMBUNUHMU.

Scarlett March hidup untuk berburu Fenris, manusia serigala yang telah mengambil matanya ketika gadis itu berusaha melindungi adiknya, Rosie, dari sebuah serangan brutal. Dengan bersenjatakan sebilah kapak dan tudung merah darah, Scarlett merupakan ahli dalam hal memancing dan membasmi para serigala jadi-jadian. Dia bertekad untuk melindungi para gadis muda lainnya dari kematian yang mengerikan. Jantungnya yang berdegup kencang tidak akan pernah berhenti berpacu sebelum seluruh manusia serigala tewas.
Rosie March dulu mengira hubungan dirinya dengan sang kakak tidak akan pernah retak. Karena merasa berutang nyawa pada Scarlett, Rosie pun ikut berburu dengan ganas di samping kakaknya itu. Namun, bahkan ketika jumlah gadis muda yang menjadi korban semakin meningkat dan ketika kekuatan para Fenris terasa semakin bertambah, Rosie memimpikan sebuah kehidupan yang tidak melibatkan para manusia serigala. Dia mendapati dirinya tertarik pada satu-satunya sahabat Scarlett, Silas, seorang pandai kayu yang sangat mematikan dalam menggunakan kapak. Namun, apakah mencintai pria itu berarti mengkhianati kakaknya serta segala hal yang selama ini mereka perjuangkan? (Goodreads)

Kalau bukan karena Sweetly, buku kedua dari seri Fairytale Retelling, mungkin Sisters Red akan tetap berada di tumpukan.

Kata-kata "Dua Saudari Bertudung Merah" yang tertera di sampul depan ternyata tidak serta merta membuat saya teringat akan salah satu dongeng legendaris yang ditulis ulang oleh Grimm Bersaudara. Bahkan ketika akhirnya memutuskan untuk membaca sinopsis di belakang buku. Yang ada malah dugaan tentang cerita perburuan serigala jadi-jadian biasa. Semua lebih dikarenakan Jackson Pearce, sang penulis, membuat cerita baru yang seru dan tidak kalah menarik dengan dongeng aslinya. Saya baru dapat menarik garis merah setelah memulai petualangan Scarlett dan Rosie dan bertemu dengan Oma March, tukang kayu, pemburu dan Fenris, sang serigala jadi-jadian.

Scarlett dan Rosie, dari sudut pandang merekalah cerita Sisters Red yang berplot lambat, bergulir. Jackson Pearce menghidupkan keduanya dengan sangat baik. Tidak ada kesulitan untuk membedakan keduanya. Sifat,karakter, emosi keduanya dengan mudah dapat dipahami. Bagaimana protektifnya Scarlett ataupun kesalnya Rosie saat mengetahui dirinya tidak diikutsertakan dalam perburuan Fenris, semua dipaparkan dengan jelas. Bahkan obsesi Scarlett terhadap makhluk yang berbahaya ini pun sekali waktu membuat saya sedikit kesal.

Hubungan Scarlet dan Rosie sebagai dua kakak beradik adalah bagian yang paling saya suka. Keduanya seakan terikat satu sama lain. Terlihat bagaimana mereka seakan bisa "membaca" perasaan dan pikiran satu sama lain. Walau semakin lama, kedekatan mereka itu membuat saya cemas. Setiap babnya menyisipkan kekhwatiran akan adanya bagian dari cerita perjalanan berburu Fenris yang nantinya memporak-porandakan hubungan mereka berdua. Salah satunya saat Silas, seorang pemburu yang juga teman masa kecil mereka, muncul. Untungnya hal yang paling saya takutkan tidak terjadi. Mengenai Silas sendiri, saya tidak begitu terkesan dengan karakter pria yang satu ini.

Fenris, serigala jadi-jadian, mendapat porsi perhatian saya setelah kakak beradik bertudung merah. Deskripsi yang diberikan untuk Fenris oleh Jackson Pearce lebih dari cukup untuk mengetahui bahwa mereka adalah makhluk kejam, penuh tipu daya, buas dengan rasa lapar yan tak pernah terpuaskan. Walaupun mereka tetaplah sosok yang misterius. Kawanan serigala jadi-jadian yang membuat saya penasaran. Gemas rasanya ketika hasil pencarian Scarlet, Silas dan Rosie ternyata tidak mampu mengungkap seluruh cerita dibalik sosok yang tak mengenal belas kasihan ini. Saya berharap ada penjelasan lebih lanjut mengenai mereka,termasuk pembagian kelompok mereka berdasarkan tato yang terdapat pada pergelangan tangan mereka. Sayangnya, hingga kisah Scarlett dan Rosie berakhir, hal-hal mengenai Fenris tidak terungkap dengan detail.

Satu hal yang paling seru dari buku ini adalah bab-bab yang menuliskan pertarungan antara Scarlett, Silas ataupun Rosie dengan para serigala. Jackson Pearce nampaknya tidak kesulitan untuk menuliskan setiap adegannya dengan detail. Begitu pula dengan sang penerjemah. Saat membaca semua kalimat yang menceritakan perkelahian, rasanya seperti melihatnya dengan mata kepala sendiri. Seru!

Namun dari semua hal yang saya ungkapkan di atas, ada sedikit menganjal. Yaitu tidak terdapatnya bagian yang menceritakan adanya keterlibatan serius dari pihak berwajib. Mengingat banyaknya korban yang berjatuhan karena Fenris yang lapar dan tersebar di seluruh penjuru kota. Seakan semua korban yang hilang dan tewas karena mahkluk jadi-jadian bukan masalah besar.

Cover
Penerbit Atria menggunakan cover yang sama dengan cover buku aslinya. Keren. Saya suka dengan perpaduan warna hitam dan merahnya. Baru sadar kalau di cover juga ada penampakan si rakus Fenris.  

Judul Indonesia: Dua Saudari Bertudung Merah  
Penulis: Jackson Pearce
Penerjemah: Ferry Halim  
Editor: Ida Wadji  
Penerbit: Atria  
Cetakan: I, Februari 2011  
Tebal: 324 hlm

No comments:

Post a Comment